Selasa, 22 Januari 2013

OPINI



AKREDITASI DAN LIBERALISASI;
“ANTARA TUNTUTAN DAN TANTANGAN”
Oleh: Mr. Broin

Ibarat hujan di tengah panas, adalah sebuah analogi yang tepat untuk menggambarkan ekspresi para dosen dan mahasiswa STIE Putra Timor Kupang, ketika merebak kabar bahwa, Perguruan Tinggi swasta ini dinilai layak untuk memperoleh nilai C dalam status akreditasi. Kabar ini mungkin saja memiliki kesamaan ketika seorang mahasiswa memperoleh nilai C untuk sebuah mata kuliah. Artinya, “mahasiswa tersebut dinyatakan lulus”. Benar-benar sebuah kabar gembira. Sebab, esensi dari akreditasi dengan kredit point yang demikian, mengandung makna bahwa sebuah institusi Perguruan Tinggi dinyatakan layak oleh organisasi atau badan mandiri di luar perguruan tinggi yang memiliki legitimasi untuk membuat sebuah evaluasi.
Prosesnya dimulai dari penilaian mutu eksternal, penilaian yang berkaitan dengan akuntabilitas, pemberian izin, pemberian lisensi, sampai pada survey dan pengumpulan data untuk menentukan peringkat. Sejatinya, akreditasi adalah pengakuan terhadap perguruan tinggi atau program studi tersebut dalam melaksanakan program pendidikan dan mutu lulusan yang dihasilkannya, telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).
Pengakuan di atas, merupakan sebuah kepastian akan legitimasi out put yang dihasilkan di Perguruan Tinggi manapun. Dan bagi mahasiswa jebolan STIE Putra Timor, ini adalah sebuah titik aman dan jawaban akan keraguan yang selama ini menyelimuti setiap mahasiswa yang mengenyam pendidikan di kampus ini. Kita tentu merasa lega, sebab kita tak lagi mencari kutu di kepala yang botak, jika saja ada yang berkata demikian. Sebab, arena luas di luar sana menuntut jebolan yang legitimate dan siap berkompetisi. Sementara untuk para dosen dan pengelolah kampus,  ini adalah sebuah euforia karena kerja keras yang kini dapat dituai hasilnya. Yang paling menarik, status akreditasi ini diperoleh saat kampus ini sedang bersiaga mewisudakan dua puluh-an mahasiswa, angkatan V. sebuah hadiah terindah bagi mereka yang hendak melepaskan bekas kaki di kampus ini. Dan tidak berhenti di situ saja, mereka yang hendak beranjak, akan terus bercerita tentang eksistensi kampus ini dengan percaya diri.
Terlepas dari euforia di kampus ini, di tahun yang sama bangsa ini telah mengesahkan Undang-undang Perguruan Tinggi yang hampir sama persis dengan Undang_undang Badan Hukum Pendidikan yang telah digugurkan oleh Makamah konsitusi (MK). Ini adalah sebuah tantangan bagi Perguruan Tinggi Swasta yang belum terlalu populer dan belum memiliki fasiliatas yang memadai. Sebab, setidaknya ada tiga efek pokok yang diakibatkan dari lahirnya undang-undang tersebut.
Pertama, undang-undang ini mengandung syarat liberalisasi yang secara internal akan memberikan ruang yang cukup bagi pemodal-pemodal asing untuk berinvestasi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Ruang tersebut akan dimanfaatkan sebaik mungkin sehingga ronde ini akan semakin sengit karena sekali lagi, regulasi memberikan ruang sekalipun otonomi yang dijabarkan dalam undang-undang ini dikatakan tidak penuh. Dan pertarungan yang saya maksud disini lebih mengarah pada muatan tendensi yang dibawah dari luar terutama ancaman komersialisasi bahkan satu tingkat di atasnya yakni kapitalisasi pendidikan. Sebab, dunia pendidikan kini menjadi salah ikon investasi yang cukup menjanjikan untuk mengakumulasi modal. Sehingga ini merupakan ancaman serius karena pendidikan tidak lagi menjadi investasi sosial tetapi akan sekejab berubah menjadi barang dagangan.
Kedua, Pemerintah akan perlahan melepaskan tanggung jawabnya pada pendidikan tinggi karena pencapaian 20% alokasi APBN mayoritasnya diperuntukan bagi program pendidikan gratis 12 tahun. Sementara untukpendidikan tinggi, mahasiswa diberikan konsesi (sogokan) berupa beasiswa yang angkanya tidak seberapa jika dibandingkan dengan kerugian akibat keuntungan yang diperoleh dari investasi pendidikan pihak asing di Indonesia. Ada baiknya, tetap memaksimalkan peran negara dalam pendidikan tinggi dengan mensubsidi perguruan-perguruan tinggi swasta yang potensial sehingga terus mengambil peran membangun sumber daya manusia di negeri sendiri.
Ketiga, kualitas out put yang dihasilkan dari berbagai perguruan tinggi tidak menjadi fokus bidik, tetapi semata-mata mengejar akumulasi modal sehingga banyak sarjana yang akan berharap penuh bisa merubah masa depannya dengan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), di tengah pemberlakuan moratorium yang juga menjadi tantangan tersendiri. Rasionalisasi dan argumentasipun sangat sederhana, kreasinya terpasung karena tidak memiliki kemampuan intelektual yang memadai. Belum lagi deretan sarjana stock lama juga masih tertumpuk di gudang penganggguran akibat lapangan pekerjaan yang terlampau sulit. Hal ini semakin memupuk pesimisme masyarakat akan pentingnya mengenyam pendidikan tinggi karena terkooptasi dengan realitas yang membuktikan angka pengguran pendidikan tinggi terus meningkat. Di sini kampus di paksa untuk bertindak bak sales produk yang menggunakan metode door to door untuk menawarkan produk.
 Dengan demikian, dua elemen pokok sebuah kampus, yakni Lembaga dan mahasiswa harus mulai merefleksikan tiga persoalan besar di atas. Lembaga kampus harus mulai memikirkan strategi yang tepat untuk meningkatkan kualitas serta memenuhi kendala fasilitas sehingga dapat bersaing dengan kampus-kampus lain di Indonesia, khsususnya di NTT agar tidak mati suri ketika berhadapan dengan ekspansi modal dari luar yang juga turut berinvestasi di dunia pendidikan tinggi.
Di sisi lain,  untuk mahasiswa  baik yang hendak hengkang dan berburu pekerjaan di luar maupun yang masih duduk dibangku kuliah, tidak perlu terlalu bingung dan galau jika saja berkompeten dan mulai membangun jaringan sebagai bentuk budaya yang paling maju dan modern sarat ini. Kompetensi bisa menyelamatkan kita di tengah liberalisasi semua aspek kehidupan. Hal-hal seperti softskill, kemampuan bahasa inggris, IPK, kemampuan akademik, merupakan hal-hal yang berhubungan dengan kompetensi. dan jika saja kita memiliki kompetensi yang baik, tentu saja pengumuman di tiap-tiap Koran harian yang sering kit abaca, iklan baris, kolom lowongan pekerjaan tidak terpampang di sana. Hampir pasti lebih dari satu, dua halaman bahkan 1 jilid khusus Koran memuat tentang lowongan pekerjaan. Pekerjaan yang ditawarkan pun beragam, dari tukang pijat hingga ke kursi-kursi kantor besar. Juga profesinya, dari yang hanya lulusan SD hingga S-2 pun ada. Jadi darimana munculnya ungkapan minimnya pekerjaan? Semakin pasti, pengangguran yang tinggi memiliki korelasi yang erat dengan kompetensi.
Sedangkan berorganisasi, membangun relasi, pengalaman kerja dan pengalaman ber-enterpreunership merupakan perangkat dari yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang mahasiswa calon sarjana. Bukan merupakan trend lagi untuk muncul sebagai fighter murni. Sudah usang beronani dengan pragmatisme untuk melawan derasnya liberalisasi yang semakin kencang.
Sejatinya, akreditasi hanyalah menjadi motivasi bagi Lembaga untuk terus berbenah dan spirit bagi out put di kampus ini untuk berkompetensi. Akreditasi memang menjadi kebutuhan atau tuntutan, namun realitas liberalisasi muncul sebagai sebuah tantangan. ***