AKREDITASI DAN LIBERALISASI;
“ANTARA TUNTUTAN DAN TANTANGAN”
Oleh: Mr. Broin
Ibarat hujan di tengah
panas, adalah sebuah analogi yang tepat untuk menggambarkan ekspresi para dosen
dan mahasiswa STIE Putra Timor Kupang, ketika merebak kabar bahwa, Perguruan
Tinggi swasta ini dinilai layak untuk memperoleh nilai C dalam status
akreditasi. Kabar ini mungkin saja memiliki kesamaan ketika seorang mahasiswa
memperoleh nilai C untuk sebuah mata kuliah. Artinya, “mahasiswa tersebut
dinyatakan lulus”. Benar-benar sebuah kabar gembira. Sebab, esensi dari
akreditasi dengan kredit point yang demikian, mengandung makna bahwa sebuah institusi
Perguruan Tinggi dinyatakan layak oleh organisasi atau badan mandiri di luar
perguruan tinggi yang memiliki legitimasi untuk membuat sebuah evaluasi.
Prosesnya dimulai dari
penilaian mutu eksternal, penilaian yang berkaitan dengan akuntabilitas,
pemberian izin, pemberian lisensi, sampai pada survey dan pengumpulan data
untuk menentukan peringkat. Sejatinya, akreditasi adalah pengakuan terhadap perguruan tinggi atau program studi
tersebut dalam melaksanakan program pendidikan dan mutu lulusan yang
dihasilkannya, telah memenuhi
standar yang ditetapkan oleh Badan
Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).
Pengakuan
di atas, merupakan sebuah kepastian akan legitimasi out put yang dihasilkan di
Perguruan Tinggi manapun. Dan bagi mahasiswa jebolan STIE Putra Timor, ini
adalah sebuah titik aman dan jawaban akan keraguan yang selama ini menyelimuti
setiap mahasiswa yang mengenyam pendidikan di kampus ini. Kita tentu merasa
lega, sebab kita tak lagi mencari kutu di kepala yang botak, jika saja ada yang
berkata demikian. Sebab, arena luas di luar sana menuntut jebolan yang legitimate
dan siap berkompetisi. Sementara untuk para dosen dan pengelolah kampus, ini adalah sebuah euforia karena kerja keras
yang kini dapat dituai hasilnya. Yang paling menarik, status akreditasi ini
diperoleh saat kampus ini sedang bersiaga mewisudakan dua puluh-an mahasiswa,
angkatan V. sebuah hadiah terindah bagi mereka yang hendak melepaskan bekas
kaki di kampus ini. Dan tidak berhenti di situ saja, mereka yang hendak
beranjak, akan terus bercerita tentang eksistensi kampus ini dengan percaya
diri.
Terlepas
dari euforia di kampus ini, di tahun yang sama bangsa ini telah mengesahkan
Undang-undang Perguruan Tinggi yang hampir sama persis dengan
Undang_undang Badan Hukum Pendidikan yang telah digugurkan oleh Makamah
konsitusi (MK). Ini adalah sebuah tantangan bagi Perguruan Tinggi Swasta yang
belum terlalu populer dan belum memiliki fasiliatas yang memadai. Sebab,
setidaknya ada tiga efek pokok yang diakibatkan dari lahirnya undang-undang
tersebut.
Pertama,
undang-undang ini mengandung syarat liberalisasi yang secara internal akan
memberikan ruang yang cukup bagi pemodal-pemodal asing untuk berinvestasi dalam
dunia pendidikan di Indonesia. Ruang tersebut akan dimanfaatkan sebaik mungkin
sehingga ronde ini akan semakin sengit karena sekali lagi, regulasi memberikan
ruang sekalipun otonomi yang dijabarkan dalam undang-undang ini dikatakan tidak
penuh. Dan pertarungan yang saya maksud disini lebih mengarah pada muatan
tendensi yang dibawah dari luar terutama ancaman komersialisasi bahkan satu
tingkat di atasnya yakni kapitalisasi pendidikan. Sebab, dunia pendidikan kini
menjadi salah ikon investasi yang cukup menjanjikan untuk mengakumulasi modal.
Sehingga ini merupakan ancaman serius karena pendidikan tidak lagi menjadi
investasi sosial tetapi akan sekejab berubah menjadi barang dagangan.
Kedua,
Pemerintah akan perlahan melepaskan tanggung jawabnya pada pendidikan tinggi karena
pencapaian 20% alokasi APBN mayoritasnya diperuntukan bagi program pendidikan
gratis 12 tahun. Sementara untukpendidikan tinggi, mahasiswa diberikan konsesi
(sogokan) berupa beasiswa yang angkanya tidak seberapa jika dibandingkan dengan
kerugian akibat keuntungan yang diperoleh dari investasi pendidikan pihak asing
di Indonesia. Ada baiknya, tetap memaksimalkan peran negara dalam pendidikan tinggi
dengan mensubsidi perguruan-perguruan tinggi swasta yang potensial sehingga
terus mengambil peran membangun sumber daya manusia di negeri sendiri.
Ketiga,
kualitas out put yang dihasilkan dari berbagai perguruan tinggi tidak menjadi
fokus bidik, tetapi semata-mata mengejar akumulasi modal sehingga banyak sarjana
yang akan berharap penuh bisa merubah masa depannya dengan menjadi Pegawai Negeri
Sipil (PNS), di tengah pemberlakuan moratorium yang juga menjadi tantangan
tersendiri. Rasionalisasi dan argumentasipun sangat sederhana, kreasinya
terpasung karena tidak memiliki kemampuan intelektual yang memadai. Belum lagi
deretan sarjana stock lama juga masih tertumpuk di gudang penganggguran akibat
lapangan pekerjaan yang terlampau sulit. Hal ini semakin memupuk pesimisme
masyarakat akan pentingnya mengenyam pendidikan tinggi karena terkooptasi
dengan realitas yang membuktikan angka pengguran pendidikan tinggi terus
meningkat. Di sini kampus di paksa untuk bertindak bak sales produk yang
menggunakan metode door to door untuk menawarkan produk.
Dengan demikian, dua elemen pokok sebuah kampus,
yakni Lembaga dan mahasiswa harus mulai merefleksikan tiga persoalan besar di
atas. Lembaga kampus harus mulai memikirkan strategi yang tepat untuk
meningkatkan kualitas serta memenuhi kendala fasilitas sehingga dapat bersaing
dengan kampus-kampus lain di Indonesia, khsususnya di NTT agar tidak mati suri
ketika berhadapan dengan ekspansi modal dari luar yang juga turut berinvestasi
di dunia pendidikan tinggi.
Di
sisi lain, untuk mahasiswa baik yang hendak hengkang dan berburu pekerjaan di luar maupun yang
masih duduk dibangku kuliah, tidak perlu terlalu bingung dan galau jika saja
berkompeten dan mulai membangun jaringan
sebagai bentuk budaya yang paling maju dan modern sarat ini. Kompetensi
bisa menyelamatkan kita di tengah liberalisasi semua aspek kehidupan. Hal-hal
seperti softskill, kemampuan bahasa inggris, IPK, kemampuan akademik, merupakan
hal-hal yang berhubungan dengan kompetensi. dan jika saja kita memiliki
kompetensi yang baik, tentu saja pengumuman di tiap-tiap Koran harian yang
sering kit abaca, iklan baris, kolom lowongan pekerjaan tidak terpampang di
sana. Hampir pasti lebih dari satu, dua halaman bahkan 1 jilid khusus Koran
memuat tentang lowongan pekerjaan. Pekerjaan yang ditawarkan pun beragam, dari
tukang pijat hingga ke kursi-kursi kantor besar. Juga profesinya, dari yang
hanya lulusan SD hingga S-2 pun ada. Jadi darimana munculnya ungkapan minimnya
pekerjaan? Semakin pasti, pengangguran yang tinggi memiliki korelasi yang
erat dengan kompetensi.
Sedangkan berorganisasi, membangun relasi, pengalaman kerja
dan pengalaman ber-enterpreunership merupakan perangkat dari yang tak dapat
dipisahkan dari kehidupan seorang mahasiswa calon sarjana. Bukan merupakan
trend lagi untuk muncul sebagai fighter murni. Sudah usang beronani dengan
pragmatisme untuk melawan derasnya liberalisasi yang semakin kencang.
Sejatinya, akreditasi hanyalah menjadi motivasi
bagi Lembaga untuk terus berbenah dan spirit bagi out put di kampus ini untuk
berkompetensi. Akreditasi memang menjadi kebutuhan atau tuntutan, namun
realitas liberalisasi muncul sebagai sebuah tantangan. ***